Surabaya Melawan Kota Kosong: Potret Pilkada Tanpa Lawan

31 Agustus 2024 08:35 WIB
kotak kosong Pilkada

Anomali.id – Pilkada 2024 di beberapa daerah di Indonesia menarik perhatian, terutama ketika beberapa wilayah bakal menghadapi calon tunggal. Fenomena ini seakan membuat Pilkada kurang menarik, karena di beberapa daerah, seperti Surabaya, kandidat harus melawan kota kosong. Pertanyaannya, mengapa ini bisa terjadi?

Pasangan calon (Paslon) Eri Cahyadi dan Armuji, petahana Walikota dan Wakil Walikota Surabaya, telah resmi mendaftar ke KPU Surabaya pada 28 Agustus 2024. Mereka mendapat dukungan penuh dari 10 partai politik (parpol) besar seperti PDIP, PKB, Gerindra, Golkar, dan lainnya. Dengan seluruh parpol besar di belakang mereka, Eri-Armuji hampir dipastikan akan melawan kota kosong.

Ketua KPU Surabaya, Supraitno, menyatakan bahwa jika setelah perpanjangan masa pendaftaran selama 3 hari tidak ada lagi calon yang mendaftar, maka tahapan Pilkada akan dilanjutkan ke pemeriksaan administrasi dan pengumuman paslon. Kondisi ini tentu menimbulkan kekhawatiran terkait kualitas demokrasi di Surabaya.

Fenomena calon tunggal ini bukan hanya terjadi di Surabaya. Data dari Kompas menunjukkan bahwa ada lebih dari 30 daerah yang menghadapi potensi calon tunggal. Daerah-daerah ini termasuk Gresik, Ngawi, Kediri, dan Pacitan. Di Jawa Tengah, potensi calon tunggal ditemukan di Banyumas, dan beberapa daerah lain seperti Bengkulu Utara, Serdang Bedagai, dan Aceh Utara.

Menurut Harif Fitrianto, dosen Ilmu Politik Universitas Airlangga, dukungan bulat parpol terhadap satu pasangan calon seringkali terjadi karena jeda waktu yang pendek antara Pemilu dan Pilkada, serta putusan Mahkamah Konstitusi yang mepet. Akibatnya, parpol merasa tidak punya cukup waktu untuk mematangkan kandidat alternatif dan akhirnya memilih merapat ke petahana.

Meski begitu, calon tunggal tak selalu menang. Contohnya di Pilkada Makassar 2018, di mana calon tunggal kalah melawan kota kosong. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat bisa saja memilih untuk tidak mendukung calon tunggal jika merasa pilihan tersebut tidak merepresentasikan aspirasi mereka.

Dalam perspektif politik, calon tunggal sering dianggap sebagai indikasi lemahnya kaderisasi parpol dan rendahnya kualitas demokrasi di tingkat lokal. Namun, hal ini juga bisa memicu masyarakat untuk lebih kritis dan aktif dalam menyikapi proses politik, termasuk mendukung kota kosong sebagai bentuk protes.

Dengan banyaknya daerah yang menghadapi calon tunggal, KPU memiliki tantangan besar untuk memastikan Pilkada tetap berjalan dengan baik dan demokratis. Jangan sampai, demokrasi kita terasa “anyep” karena kurangnya kompetisi yang sehat. Jangan ketinggalan anomali terbaru! Ikuti update berita terkini di anomali.id ! Dapatkan informasi terpercaya dan terbaru setiap hari.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

4232508926941629218

Latest News

12848135643216883582
5003596313931723273