Revisi UU Pilkada; Putusan MK Terabaikan?

22 Agustus 2024 09:44 WIB
Peringatan darurat

Anomali.id – Di tengah situasi politik yang semakin memanas, DPR melalui Badan Legislasi (Baleg) bersama pemerintah membuat langkah kontroversial dengan merevisi aturan mengenai syarat usia calon kepala dan wakil kepala daerah (21/08). Revisi ini mengatur bahwa usia calon dihitung sejak pasangan calon dilantik, berbeda dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menegaskan bahwa usia calon dihitung sejak penetapan pasangan calon oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Revisi ini tentu memicu kekhawatiran publik. Banyak pihak menilai bahwa langkah DPR dan pemerintah ini berpotensi menciptakan turbulensi politik, yang bisa berdampak pada kelancaran dan kondusivitas penyelenggaraan Pilkada. Bahkan, tidak sedikit yang melihat revisi ini sebagai upaya untuk kembali jalan bagi putra bungsu Presiden Jokowi menuju kursi kepala daerah, setelah sebelumnya tersandung aturan syarat usia dalam putusan MK.

Dalam rapat Panja RUU Pilkada di Kompleks Parlemen Senayan pada Rabu, 21 Agustus 2024, Baleg DPR dan pemerintah sepakat menambah norma baru dalam pasal 7 ayat 2 huruf d RUU Pilkada. Dalam norma baru tersebut, usia calon kepala daerah dihitung sejak pelantikan pasangan terpilih. Wakil Ketua Baleg DPR, Ahmad Baidowi, menyebut bahwa ketentuan ini lebih jelas dibandingkan putusan MK yang hanya terdapat dalam pertimbangan hukum, bukan pada amar putusan.

Namun, langkah ini menuai kritik tajam. Ketua The Constitutional Democracy Initiative (Konsit), Kholil Pasaribu, menyebut revisi ini sarat dengan muatan politik pragmatis dan hanya menggambarkan kepentingan elite penguasa yang merasa terganggu. Senada dengan Kholil, pengajar hukum kepemiluan Universitas Indonesia, Titi Anggraini, menyatakan bahwa revisi ini bisa membuat pelaksanaan Pilkada menjadi kacau balau. Menurutnya, jika undang-undang ini diterapkan, Pilkada bisa menjadi noktah hitam dalam sejarah demokrasi Indonesia.

Titi juga menyoroti potensi perlawanan dari masyarakat yang tidak puas. Menurutnya, kemungkinan besar akan ada boikot terhadap Pilkada jika undang-undang yang menyimpangi putusan MK ini dipaksakan untuk diterapkan. Ia menegaskan, putusan MK seharusnya menjadi acuan utama dalam proses hukum dan demokrasi di Indonesia.

Pakar hukum tata negara, B. Fitri Susanti, mendesak KPU untuk tetap menjalankan tugasnya sesuai dengan konstitusi. Ia menegaskan bahwa KPU harus mematuhi undang-undang yang konstitusional, yakni yang selaras dengan putusan MK. Menurutnya, revisi undang-undang Pilkada oleh DPR dan pemerintah ini sama saja dengan pembangkangan terhadap konstitusi.

Situasi ini menimbulkan pertanyaan besar tentang arah demokrasi Indonesia ke depan. Apakah langkah DPR dan pemerintah ini akan berhasil atau justru menimbulkan gejolak yang lebih besar? Yang jelas, dinamika politik ini patut diwaspadai oleh semua pihak demi menjaga keutuhan demokrasi dan kedaulatan hukum di Indonesia. Jangan ketinggalan anomali terbaru! Ikuti update berita terkini di anomali.id ! Dapatkan informasi terpercaya dan terbaru setiap hari.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

4232508926941629218

Latest News

12848135643216883582
5003596313931723273