Editorial anomali.id – Demokrasi Indonesia, di usianya yang lebih dari dua dekade, menghadirkan fenomena menarik dalam kontestasi politik, khususnya menjelang Pilpres 2024. Di balik hiruk pikuk pencalonan dan koalisi, tersembunyi pola pragmatisme yang perlu dikaji lebih dalam.
Pertama, partai politik, yang diharapkan menjadi wadah perjuangan ideologi dan platform, tampaknya terjebak dalam pragmatisme politik. Alih-alih mengedepankan visi dan misi, partai politik menjelma menjadi alat tawar menawar dalam koalisi. Hal ini terlihat jelas dalam pergeseran dukungan antar partai, di mana ideologi dan platform sering kali dikesampingkan demi kepentingan pragmatis.
Kedua, capres dan cawapres pun tak luput dari pragmatisme ini. Mereka bukan lagi representasi visi dan misi, melainkan instrumen untuk mencapai kekuasaan. Hal ini dibuktikan dengan mudahnya para politisi berpindah koalisi dan mendukung calon yang berbeda, tanpa pertimbangan prinsip dan ideologi.
Ketiga, fenomena “baper” (terbawa perasaan) mewarnai dinamika politik di kalangan pendukung. Euforia dan kekecewaan berganti seiring perubahan koalisi dan dukungan, tanpa mempedulikan ideologi atau platform yang diusung. Loyalitas kepada figur dan kelompok politik mengalahkan rasionalitas dan objektivitas dalam menilai kontestasi politik.
Keempat, etika politik tampaknya semakin terpinggirkan dalam pusaran pragmatisme ini. Politik uang, mahar politik, dan black campaign masih marak terjadi, mencederai nilai-nilai demokrasi dan moralitas.Kelima, peran rakyat dalam menentukan arah politik bangsa menjadi tereduksi. Suara rakyat sering kali diabaikan dan tergantikan oleh kepentingan elit politik dan oligarki. Demokrasi di Indonesia terancam terjebak dalam “demokrasi prosedural” di mana rakyat hanya menjadi objek, bukan subjek dalam proses politik.
Di tengah pragmatisme dan dilema ini, muncul pertanyaan penting: Bagaimana masa depan demokrasi Indonesia? Apakah etika politik masih relevan? Bagaimana peran rakyat dalam menentukan arah politik bangsa?
Demokrasi Indonesia membutuhkan transformasi untuk keluar dari pragmatisme dan dilema. Diperlukan komitmen dari semua pihak, baik politisi, rakyat, maupun penyelenggara negara, untuk membangun demokrasi yang berkeadilan, berintegritas, dan bermartabat… #ef