Cerita Pengalamaan Mas Eko dari Blora, tepatnya di daerah Randu Belatung.
Tahun 2000 an , Mas Eko ingin mencoba kegiatan berpetualang ke alam bebas. Setelah berbincang dengan temannya, salah satu di antara mereka, Samat, mengusulkan untuk menjelajah. “Yuk, kita jalan-jalan!” katanya. “Tapi ke mana?” tanya Mas Eko. “Bagaimana kalau ke gunung?”
Namun, Mas Eko merasa kurang yakin. “Jangan ke situ, aku belum pernah,” katanya. “Sama, aku juga belum pernah,” jawab Samat. “Tapi kalau bukit-bukit kecil, aku sudah pernah.”
Samat, teman mereka, menyarankan, “Jangan ke gunung. Kita ke hutan saja!”
Akhirnya, mereka memutuskan untuk pergi ke daerah yang sedikit lebih tinggi, bukan gunung, tetapi lebih mirip dataran tinggi. Mas Eko pun meminta izin kepada orang tuanya sebelum berangkat.
“Pak, aku mau jalan-jalan ke sana.”
“Kamu sama siapa?”
“Aku sama Samat.”
Orang tua Mas Eko pun khawatir karena daerah yang akan mereka jelajahi cukup jarang dijamah orang dan dianggap angker. Akhirnya, orang tua Mas Eko memberikan syarat, “Kalian boleh pergi, tapi ajak Darno. Dia sering ke sana.”
Mas Darno sebenarnya keberatan. “Cari tempat lain saja,” katanya. Namun, karena desakan Mas Eko dan Samat, akhirnya Darno setuju untuk menemani mereka.
Perjalanan Menuju Randu Belatung
Setelah persiapan matang—Mas Eko membawa tas carrier berisi tenda, alat masak, dan stok makanan—mereka pun berangkat. Mas Darno memandu perjalanan karena sudah tahu jalannya. Namun, saat mencapai suatu titik, Darno berhenti. Jalan setapak yang biasa dilewatinya tertutup oleh semak-semak.
“Waduh, jalanannya ketutup!” ujar Darno.
“Bagaimana kalau kita lewat jalur sungai?” usul Samat.
“Boleh juga,” jawab Darno.
Karena sedang musim kemarau, aliran sungai kecil, sehingga mereka bisa melewatinya dengan mudah. Mereka berjalan sekitar dua jam, dengan Mas Eko berpikir bahwa ini adalah latihan sebelum mendaki gunung yang lebih berat. Namun, dia mulai merasa kelelahan, meskipun enggan mengakuinya.
Saat di depan, Darno tiba-tiba berhenti. Dari kejauhan, Mas Eko dan Selamet melihatnya berbicara dengan seseorang. Gerak-geriknya menunjukkan rasa hormat, seperti sedang berbicara dengan orang tua.
“Mas Darno lagi ngomong sama siapa?” tanya Mas Eko.
“Enggak tahu. Mungkin mau sok-sokan aja,” jawab Samat.
Setelah mereka menyusul Darno, Mas Eko bertanya, “Mas, tadi ngobrol sama siapa?”
“Tadi ada kakek-kakek bilang jangan naik ke atas, katanya mau hujan.”
Dalam hati, Mas Eko dan Selamet merasa Darno hanya mencari alasan untuk berhenti. Mereka pun tetap melanjutkan perjalanan. Langit semakin mendung, dan tiba-tiba hujan turun deras. Mereka segera mencari tempat berteduh dan mendirikan tenda di tanah lapang di pinggir sungai.
Saat hujan berhenti, mereka memasak dan bersiap untuk istirahat. Namun, anehnya, meski masih sore, suasana terasa seperti sudah malam.
“Mat, kok udah gelap begini ya?” tanya Mas Eko.
“Namanya juga di hutan,” jawab Samat santai.
Hilang Tanpa Jejak
Mereka pun tidur. Saat terbangun, Samat yang pertama kali sadar. Ia menyalakan senter dan membuka resleting tenda. Di luar, gelap gulita.
“Loh, kok udah malam?”
Saat itulah mereka mendengar suara gaduh di luar tenda. Ada suara langkah, bisikan, dan gerakan aneh. Mereka mengintip keluar dengan senter, dan melihat puluhan pasang mata bersinar dalam kegelapan. Sosok-sosok kecil berbadan hitam mengelilingi tenda mereka.
“Mat, apa itu?” tanya Mas Eko gemetar.
“Jangan keluar!” jawab Selamet ketakutan.
Saat itu, mereka baru sadar bahwa Darno tidak ada bersama mereka. Mereka tidak tahu ke mana Darno pergi sejak tadi. Makanan yang seharusnya untuk bertiga masih utuh.
Lalu, terdengar suara dari luar tenda, “Kalian tidak akan bisa keluar dari sini, mau pergi atau tidak, tetap tidak bisa.”
Selamet mencoba bertanya, “Sampean siapa?” Namun, tidak ada jawaban, hanya suara gemuruh aneh.
Mereka semakin ketakutan. Saat mengintip lagi, sosok-sosok kecil itu mendekat. Bentuknya menyerupai manusia, tetapi lebih kecil, sekitar setengah meter. Seluruh tubuhnya hitam dengan mata yang menyala.
Tiba-tiba, tenda mereka seperti diterjang angin kencang. Pasaknya tercabut, dan mereka terlempar ke belakang. Mas Eko merasakan sesuatu menabrak punggungnya. Saat diraba, ia menyentuh sesuatu seperti popor senapan tua.
“Ini apa?” gumamnya.
Ia menggali sedikit tanah di sekitarnya dan menemukan senapan tua berkarat serta bungkusan kain lusuh. Saat kain dibuka, ada berbagai benda di dalamnya, termasuk sisir, beberapa botol kecil, dan secarik kertas bertuliskan:
“Kami sudah dua hari di sini dan tidak bisa keluar. Tolong, siapapun yang menemukan ini, laporkan ke komandan.”
Tertulis nama di bawahnya, “Sumarjito.”
Selamet yang awalnya sombong, kini tampak ketakutan. “Kita gimana, Ko?”
“Aku enggak tahu,” jawab Mas Eko.
Suara gaduh kembali terdengar. Sosok-sosok kecil itu semakin mendekat. Suara mereka melengking seperti jangkrik atau belalang, makin banyak dan makin berisik. Mereka hanya bisa pasrah.
Tiba-tiba, semua terasa gelap. Mas Eko dan Selamet kehilangan kesadaran.
Diselamatkan Warga
Ketika tersadar, mereka mendengar suara orang memanggil-manggil nama mereka. “Eko! Samat!”
Mereka bangun dan melihat hari sudah terang. Mereka menjawab panggilan itu dan tidak lama kemudian, beberapa orang datang menjemput mereka. Ternyata, salah satu orang dalam rombongan itu adalah Darno.
“Mas Darno!”
Darno hanya tersenyum lega melihat mereka. Mereka pun dibantu, diberi makanan, dan diceritakan bahwa mereka menghilang semalaman. Salah satu warga yang dituakan pun pergi ke sudut hutan, seolah mencari sesuatu.
Apa yang sebenarnya terjadi malam itu? Mereka tidak pernah benar-benar tahu. Di sana, Anda tahulah. Cuman berdiri begitu saja, seperti sedang melakukan ritual atau mungkin berkomunikasi dengan sesuatu yang gaib. Mas Eko sendiri tidak mengerti, tapi itulah yang terlihat. Setelah itu, mereka pun dibawa pulang. Beruntungnya, Mas Eko dan Samat masih bisa berjalan meskipun kondisi mereka tampak lemah. Mereka pun akhirnya turun, namun jalur yang mereka lalui adalah jalur sungai tadi. Lewat situ, mereka turun ke sana.
Sesampainya di rumah, barulah mereka diberi tahu sesuatu yang mengejutkan.
“Kok, Mat, kalian berdua itu sudah hilang selama dua hari?”
“Hah? Dua hari apaan? Orang baru satu malam,” kata Mas Slamet keheranan.
“Iya, Pak. Baru satu malam,” timpal Mas Eko.
“Enggak! Kami itu sudah nyariin kalian dua hari! Ini sudah hari kedua. Alhamdulillah, kalian akhirnya ketemu. Ini si Darno, loh.”
Darno kemudian berbicara, “Kan sudah tak bilangin, jangan melanjutkan perjalanan. Kenapa kalian malah terus lanjut ke sana? Sudah tak larang, eh, tetap saja kalian nekat. Setelah itu, kalian tiba-tiba hilang, enggak kelihatan lagi. Aku bingung, nyariin sendiri sampai sore! Tak cariin waktu itu baru jam berapa? Jam 5 an, kan?”
“Iya, jam 5 an,” jawab Samat.
“Aku sampai ke kampung pas sudah gelap. Kalian enggak ada, tak cariin ke mana-mana, tak teriakin, tetap saja enggak ada tanda-tanda sama sekali. Akhirnya, aku pun ngomong sama warga. Warga langsung ikut nyari malam itu juga di area tempat kalian ketemu. Tapi ya tetap saja, kalian enggak ada. Enggak ada tanda-tandanya sama sekali sampai akhirnya Wak Karim bilang, ‘Sekarang jemput mereka sebelum gelap. Kalau sudah gelap, enggak bakalan ketemu!'”
Mendengar ucapan Wak Karim, warga pun melanjutkan pencarian ke tempat itu meskipun beberapa warga sempat ragu. “Kemarin sudah nyari ke situ, enggak ada apa-apa. Enggak ketemu siapa-siapa,” kata mereka. Tapi, alhamdulillah, kali ini ketika dipanggil, kalian nyaut. Kalau misalkan kalian pingsan atau tidur terus, mungkin kami akan melewati area itu tanpa menyadari keberadaan kalian. Soalnya, kemarin kami sudah ke sana dan memang tempat itu suka ngumpetin orang.”
“Sampean enggak bilang, Mas?” tanya Samat
“Ya kan, tak pikir kalian mau lanjut ke kali. Ternyata malah belok ke situ,” jawab Mas Darno.
“Hujan, Mas!” sergah Samat. “Orang hujan, ya kita minggir. Kalau tetap di kali, bisa kebawa air!”
Mas Darno mengernyit. “Hujan? Enggak ada hujan sama sekali!”
“Enggak ada? Kemarin itu enggak hujan?” Mas Eko makin bingung.
“Enggak!” tegas Mas Darno. “Aku sendiri enggak melihat ada hujan. Makanya aku bingung, ini anak cepat banget ke mana, sih? Ya sudah, yang penting kalian sudah ketemu.”
Mas Darno tampak kesal. “Dan sudah! Jangan minta aku nganterin ke mana-mana lagi. Aku kapok!”
Untungnya, Samat, dan Mas Eko bisa kembali dengan selamat. Namun, ada hal yang mengganjal. Saat Mas Darno dan warga kembali ke tempat kejadian, mereka tidak menemukan senapan berkarat yang sebelumnya terlihat. Tidak ada pula bungkusan-bungkusan misterius bertuliskan aksara kuno. Yang tersisa hanya tas dan barang-barang milik Mas Eko dan Mas Slamet yang berserakan.
Mereka pun mengumpulkan barang-barang itu dan bersyukur karena Mas Slamet dan Mas Eko selamat, meskipun pengalaman yang mereka alami begitu mengerikan.