Anomali.id – Jelang pelantikan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai Presiden dan Wakil Presiden, isu susunan kabinet makin panas. Kabarnya, kabinet mereka akan bertambah gemuk dengan 44 kementerian, naik dari 34 kementerian saat ini. Salah satu perubahan terbesar yang santer dibicarakan adalah rencana pemisahan Kementerian Keuangan dengan pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN). BPN ini akan fokus pada pengelolaan pajak, bea cukai, dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Alasan utama di balik rencana ini adalah rendahnya rasio perpajakan Indonesia yang stagnan di sekitar 10%. Prabowo-Gibran bahkan menargetkan kenaikan rasio penerimaan negara hingga 23% dari PDB dalam 5 tahun ke depan. Angka ini jauh di atas standar negara berkembang yang idealnya berada di kisaran 15%. Namun, pemisahan ini menimbulkan pertanyaan: Apakah benar pemisahan otoritas pajak dari Kementerian Keuangan efektif untuk meningkatkan penerimaan negara secara signifikan?
Belajar dari negara lain, pemisahan otoritas penerimaan dari kementerian keuangan tidak selalu sukses besar. Di Peru, setelah memisahkan otoritas pajak pada 1991, rasio penerimaan hanya naik 2,59% dalam 5 tahun. Sementara di Tanzania, pemisahan otoritas pajak hanya meningkatkan rasio sebesar 0,84%. Konsultan pajak Raden Agus Suparman menilai, meski otoritas pajak independen dapat berdampak positif, kenaikannya hanya sekitar 3%. Artinya, target Prabowo-Gibran sebesar 23% sangat ambisius dan perlu didukung oleh kebijakan fiskal yang kuat dan konsisten.
Publik pun menanti, apakah penambahan kementerian ini benar-benar efektif meningkatkan penerimaan negara, atau malah sekadar memboroskan anggaran tanpa hasil yang signifikan? Waktu yang akan menjawab apakah strategi ini membawa perubahan nyata atau hanya sekadar strategi politik semata. Jangan ketinggalan anomali terbaru! Ikuti update berita terkini di anomali.id ! Dapatkan informasi terpercaya dan terbaru setiap hari.