Mengungkap Kasus Korupsi Pengelolaan Timah

21 April 2024 11:15 WIB
Lokasi tambang timah

Anomali.id – Kasus korupsi pengelolaan timah oleh PT Timah Tbk dari tahun 2015 sampai tahun 2022 menggemparkan publik dengan kerugian negara mencapai lebih dari Rp271 triliun. Angka ini melampaui kerugian dari beberapa kasus korupsi terbesar sebelumnya, seperti kasus PT ASabri yang merugikan negara sebesar Rp. 23 triliun dan kasus penyelewengan dana BLBI yang merugikan negara mencapai Rp. 138 trilliun.

Dilansir dari Tempo .co, kasus ini bermula dari pengembangan kasus tindak pidana korupsi dalam tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan PT Timah Tbk. Secara sederhana, kasus ini melibatkan kerjasama ilegal antara PT Timah Tbk dan pihak swasta dalam pengelolaan lahan timah, yang kemudian hasilnya dijual kembali ke PT Timah Tbk, menimbulkan kerugian negara yang besar.

Baca juga: Mesir Terpaksa Jual Kota Baru Demi Lunasi Hutang

Awalnya terbongkar di Kejaksaan Bangka Belitung, kasus ini semakin berkembang dengan melibatkan banyak tersangka, termasuk pihak swasta dan pejabat PT Timah Tbk. Kejaksaan Agung telah menetapkan 16 tersangka dalam kasus ini, dan kemungkinan besar jumlah tersangka akan bertambah seiring dengan perkembangan penyelidikan.

Salah satu nama yang mencuat dalam kasus ini adalah Harvey Moeis, suami dari Sandra Dewi, dan Helena Lim Manager PT QSE, dari Pantai Indah Kapuk. Dugaan awal Peran mereka terkait dengan penyaluran dana CSR dari perusahaan tambang liar di wilayah Bangka Belitung. Harvey Moeis, yang merupakan perpanjangan tangan dari PT Refine Bangka Tin, diduga menjalin hubungan dengan Mochtar Riza Pahlevi Tabrani (MRPT) adalah Direktur Utama PT Timah Tbk dua periode, untuk membuat kesepakatan terkait penambangan liar.

Dugaan kesepakatan ini melibatkan modus sewa-menyewa peralatan dan proses peleburan timah, yang kemudian memberi imbalan kepada Harvey Moeis dari perusahaan-perusahaan yang terlibat. Harvey Moeis diduga memerintahkan perusahaan-perusahaan terkait untuk menyisihkan sebagian keuntungan mereka sebagai pembayaran dana CSR, dengan alasan untuk dampak sosial dan lingkungan.

Selaku Manager PT QSE Helena Lim juga memiliki peran penting dalam kasus ini, yakni di duga kuat memfasilitasi perusahaan-perusahaan terkait untuk pengelolaan dan memberikan uang kepada beberapa pihak terkait melalui PT QSE. Keterlibatannya menjadi dasar untuk dilakukannya penggeledahan di kediamannya, yang berhasil menyita puluhan miliar rupiah uang tunai.

Akibat praktik tambang ilegal ini, negara ditaksir mengalami kerugian besar, tidak hanya secara ekonomi, tetapi juga lingkungan. Total kerugian yang harus ditanggung negara mencapai Rp271 triliun, berdasarkan perhitungan kerusakan lingkungan dalam kawasan hutan dan non-kawasan hutan. Penambangan ilegal ini dimulai sejak tahun 2015, banyak tambang ilegal yang dibuka di wilayah izin usaha pertambangan PT Timah Tbk. Sebagian bahkan berlokasi di kawasan hutan, meninggalkan lubang-lubang besar setelah dieksploitasi.

Total luas galian terkait kasus PT Timah Tbk di Bangka Belitung mencakup tambang ilegal yang dibuka di wilayah izin usaha pertambangan perusahaan tersebut. Namun, tak hanya di izin usaha, beberapa tambang ilegal juga ditemukan di luar kawasan izin, bahkan di kawasan hutan. Dari data yang ada, luas tambang yang memiliki izin mencapai lebih dari 88.000 hektar, sedangkan yang tidak memiliki izin mencapai lebih dari 81.000 hektar.

Dalam praktiknya, baik tambang legal maupun ilegal sering meninggalkan dampak yang merugikan. Setelah dieksploitasi, tambang biasanya meninggalkan lubang-lubang besar yang berpotensi berbahaya. Proses pengambilan timah sendiri melibatkan penggunaan pompa pasir dan pemilahan timah yang membutuhkan air untuk membersihkan atau mengambil timah. Air yang digunakan dalam proses tersebut sering tercemar oleh zat kimia dari pembersihan dan kemudian dibuang ke saluran air, menyebabkan pencemaran di wilayah sekitarnya. Lubang bekas tambang juga merupakan ancaman serius. Lubang-lubang tersebut mengandung logam berat dan bahan beracun yang berpotensi membahayakan lingkungan dan juga jiwa masyarakat setempat.

Dalam kasus ini, perhitungan kerugian lingkungan sangat penting. Menurut peraturan Menteri Lingkungan Hidup, biaya kerugian lingkungan meliputi biaya menghidupkan fungsi tata air, pengaturan tata air, pengendalian erosi dan limpasan, pembentukan tanah, pendaur ulang unsur hara, fungsi pengurai limbah, biodiversity, sumber daya genetik, dan pelepasan karbon.

Baca juga : Domba Energi Surya ala Tiongkok

Citra satelit dari desa Cengkong Abang, Mendo Barat, Kabupaten Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, menunjukkan kerusakan lingkungan yang parah akibat aktivitas penambangan timah ilegal. Penyidik kejaksaan telah memeriksa 172 orang saksi untuk mendalami kasus dugaan korupsi pengelolaan timah di tambang milik PT Timah dari tahun 2015 hingga 2020.

Salah satu tokoh yang menjadi sorotan adalah Robert Bonosusatya, menurut masyarakat anti korupsi Indonesia atau MAKI Robert Bonosusatya diduga kuat terkait dengan PT Refine Bangka Tin, yang mengakomodasi tambang ilegal di lahan milik PT Timah. Meskipun diperiksa oleh Kejaksaan Agung, Robert tidak ditahan, karena masih sebatas saksi. Publik menunggu kelanjutan penanganan kasus mega korupsi Rp, 271 trilliun. Jangan ketinggalan anomali terbaru! Ikuti update berita terkini di anomali.id ! Dapatkan informasi terpercaya dan terbaru setiap hari.

2 thoughts on “Mengungkap Kasus Korupsi Pengelolaan Timah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

4232508926941629218

Latest News

12848135643216883582
5003596313931723273