Anomali.id – Tasya Aprilana Rahman, seorang perempuan berusia 29 tahun dari Jakarta Utara, adalah penyintas tuberkulosis resisten obat (TBC RO). Di usianya yang masih 18 tahun, Tasya harus menghadapi diagnosis TBC yang mengubah hidupnya. Meski bekerja sebagai pegawai minimarket saat itu, Tasya beruntung karena perusahaannya memberikan dukungan penuh dengan mengizinkannya menjalani pengobatan selama 18 hingga 24 bulan, tetap menggaji meskipun ia harus absen karena sakit.
Namun, perjalanan pengobatan TBC RO tidaklah mudah. Tasya mengalami banyak efek samping, mulai dari mual, muntah, depresi, hingga asam urat dan pusing yang sangat parah. “Rasanya itu sakit yang paling sakit selama hidupku,” ungkap Tasya. Meski begitu, setelah 8 bulan menjalani pengobatan intensif, Tasya diizinkan kembali bekerja dengan tetap mematuhi protokol kesehatan yang ketat.
Setelah sembuh, Tasya memutuskan untuk berhenti bekerja dan aktif sebagai sukarelawan di organisasi Pejuang Tangguh (PETA), sebuah organisasi yang memberikan advokasi dan pendampingan bagi penderita TBC. Tasya merasa pengalaman hidupnya bisa menjadi inspirasi dan bantuan bagi mereka yang tengah berjuang melawan TBC.
Sayangnya, dukungan seperti yang diterima Tasya dari tempat kerjanya bukanlah hal yang umum. Banyak perusahaan di Indonesia yang tidak memiliki kebijakan penanggulangan TBC di tempat kerja. Stigma, diskriminasi, hingga pemutusan hubungan kerja secara sepihak sering kali dialami oleh pekerja yang terinfeksi TBC.
Menurut data Kementerian Kesehatan, pada tahun 2023, mayoritas penderita TBC berasal dari kelompok usia produktif, dengan sebagian besar bekerja sebagai buruh, petani, dan pegawai swasta. TBC di tempat kerja perlu ditanggulangi secara serius, dan dukungan dari perusahaan sangat penting agar penderita bisa menyelesaikan pengobatannya dengan baik. Jangan ketinggalan anomali terbaru! Ikuti update berita terkini di anomali.id ! Dapatkan informasi terpercaya dan terbaru setiap hari.