Tunggakan Sewa Rusunawa di DKI Jakarta: Persoalan yang Tak Kunjung Usai

07 Oktober 2024 09:41 WIB
Rusunawa Marunda

Anomali.id – Permasalahan tunggakan biaya sewa rumah susun sederhana sewa (Rusunawa) di DKI Jakarta terus membesar, menimbulkan kekhawatiran serius bagi pemerintah dan penghuni. Hingga Agustus 2024, total tunggakan dari 24 lokasi Rusunawa di Jakarta telah mencapai angka fantastis, lebih dari Rp6,8 miliar. Persoalan ini bukanlah hal baru. Sejak program relokasi warga korban gusuran diluncurkan lebih dari satu dekade lalu, tunggakan ini kerap muncul, namun solusinya belum ditemukan.

Dari total tunggakan Rp6,8 miliar, Rp1,9 miliar di antaranya berasal dari 6.895 unit yang dihuni oleh warga yang masuk dalam program relokasi. Sementara itu, penghuni umum, yang seharusnya lebih mampu membayar, malah menunggak sebesar Rp15,9 miliar, tersebar di 8.368 unit. Tunggakan ini bervariasi, mulai dari tiga bulan hingga 120 bulan atau 10 tahun lamanya. Hal ini menggambarkan betapa besarnya tantangan yang dihadapi pemerintah dalam menegakkan kewajiban membayar dari para penghuni.

Wilayah Terbesar Penyumbang Tunggakan

Tunggakan tersebar di beberapa wilayah, dengan Jakarta Utara, Jakarta Timur, dan Jakarta Barat sebagai penyumbang terbesar. Di Rusunawa Marunda, Jakarta Utara, misalnya, dari total 2.883 unit yang tersebar di 29 blok, 1.942 unit tercatat menunggak hingga akhir Agustus 2024. Dari jumlah tersebut, 1.335 unit dihuni oleh warga terprogram, sementara 607 unit dihuni oleh warga umum. Total tunggakan di rusun ini bahkan mencapai lebih dari Rp1 miliar.

Dalam investigasi lapangan yang dilakukan oleh tim liputan, salah satu penghuni Rusunawa Marunda, Juleha, yang direlokasi dari kawasan Ancol tujuh tahun silam, mengungkapkan kesulitannya membayar sewa. “Saya tergantung sama suami yang bekerja, tapi penghasilannya pas-pasan. Uang yang ada juga harus dibagi untuk keperluan lain, seperti kredit motor dan kebutuhan sehari-hari. Akhirnya untuk bayar sewa rusun nggak keuber,” katanya. Juleha berharap ada keringanan berupa penghapusan denda dari tunggakan yang terus membesar. Kondisinya semakin berat karena penghasilan suaminya sebagai pengelola parkir dan hasil jualannya tidak cukup menutupi kebutuhan rumah tangga.

Kondisi serupa juga dialami oleh Dawid, penghuni Rusunawa Pinus Elok di Jakarta Timur. Dawid, yang telah menunggak selama lebih dari 10 tahun sejak direlokasi dari kawasan Pluit, mengatakan bahwa ia hanya mampu membayar sewa selama setengah tahun pada 2013, sebelum akhirnya berhenti membayar karena kesulitan ekonomi. “Saya sudah berusaha. Dulu saya jual aset di kampung untuk usaha di sini, tapi usaha itu nggak berjalan lancar,” jelas Dawid. Kini, tunggakannya telah mencapai lebih dari Rp7 juta.

Faktor Penyebab Menumpuknya Tunggakan

Kepala Unit Pengelola Rusun Pinus Elok, Darmintono, menjelaskan bahwa salah satu penyebab utama tunggakan adalah kondisi ekonomi penghuni yang lemah. Minimnya lapangan pekerjaan bagi warga rusun, ditambah dengan tingginya biaya hidup, membuat banyak penghuni lebih mengutamakan kebutuhan lain seperti pendidikan dan kesehatan. “Banyak dari mereka yang punya anak usia sekolah, dan ini meningkatkan kebutuhan ekonomi keluarga. Itulah yang membuat mereka kesulitan membayar sewa,” ungkapnya.

Faktor lain yang memperparah situasi adalah lokasi rusun yang dianggap terlalu jauh dari pusat ekonomi. Pengamat tata kota, Nirwono Yoga, menyoroti bahwa lokasi rusun yang jauh dari pusat kota membuat banyak penghuni kehilangan mata pencaharian. “Saat mereka direlokasi ke rusun, banyak yang kehilangan pekerjaan atau kesulitan mengembangkan usaha karena lokasi yang jauh. Seharusnya, pemerintah memberikan pendampingan ekonomi agar mereka bisa mandiri,” ujarnya.

Sayangnya, program pemberdayaan ekonomi yang pernah dijalankan di beberapa rusun tidak berjalan optimal. Di Rusun Pinus Elok, misalnya, program pelatihan menjahit dan pembuatan bunga dari kain yang pernah diluncurkan berhenti tanpa kelanjutan yang jelas. “Dulu ada program bikin kerajinan, tapi bingung mau jual ke mana. Programnya berhenti begitu saja,” keluh salah satu penghuni.

Upaya dan Tantangan Pemerintah DKI Jakarta

Pemprov DKI Jakarta sebenarnya telah melakukan berbagai upaya untuk mengatasi masalah ini. Pada akhir 2023, Pemprov DKI dan DPRD sepakat untuk memberikan keringanan dengan menunda tarif sewa hingga Juni 2024. Namun, memasuki Juli 2024, penghuni kembali diwajibkan membayar sewa penuh. Sayangnya, upaya ini belum cukup efektif menekan jumlah tunggakan yang justru terus bertambah setiap tahunnya.

Saat pandemi COVID-19 melanda, pemerintah memberikan relaksasi pembayaran sewa untuk meringankan beban ekonomi penghuni. Namun, begitu pandemi berakhir pada 2023, nilai tunggakan kembali melonjak, dari Rp33,2 miliar pada 2022 menjadi Rp39,9 miliar di tahun berikutnya. Relaksasi sementara yang diberikan tampaknya hanya menjadi solusi sementara, tanpa mengatasi akar masalah.

Hingga saat ini, Pemprov DKI Jakarta mengelola 32.378 unit Rusunawa di 41 lokasi, yang terbagi dalam 150 blok dan 82 tower. Dari jumlah tersebut, 62,18% unit mengalami tunggakan, menandakan adanya masalah serius dalam tata kelola dan pengawasan. Biaya perawatan yang harus dikeluarkan oleh Pemprov DKI juga tidak sedikit, mencapai Rp378 miliar per tahun untuk seluruh unit rusun yang dikelola.

Solusi yang Dibutuhkan

Pengamat tata kota menilai, masalah tunggakan ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan memberikan keringanan atau relaksasi. “Kalau hanya melakukan pemutihan, penghuni bisa menunggak lagi di kemudian hari. Harus ada pendampingan dan program yang berkelanjutan agar mereka bisa mandiri secara finansial,” kata Nirwono Yoga.

Ia juga menyarankan agar Pemprov DKI melakukan audit terhadap penghuni di setiap tower untuk memetakan kemampuan pembayaran mereka. Penghuni yang memang tidak mampu harus mendapatkan pendampingan, baik dalam bentuk pelatihan kerja maupun bantuan sosial. “Jika hanya direlokasi tanpa solusi ekonomi, masalah akan terus berulang,” tegasnya.

Opsi lain yang diusulkan adalah melibatkan pihak ketiga dalam pengelolaan Rusunawa, seperti bekerja sama dengan pengembang swasta melalui skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU). Standar pengelolaan rusun bisa ditingkatkan, dengan harapan tata kelola yang lebih baik mampu mengurangi tunggakan.

Dalam wawancara singkat dengan tim liputan, Penjabat Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi Hartono, menyebutkan bahwa Pemprov DKI terus mencari solusi terbaik. Namun, ia mengakui bahwa pengelolaan rusun yang melibatkan pihak ketiga masih dalam tahap kajian. “Kami akan terus berupaya memastikan rusunawa tetap menjadi hunian yang layak dan terjangkau, tanpa membebani warga maupun pemerintah,” ujarnya.

Kesimpulan: Antara Hak dan Kewajiban

Relokasi warga ke Rusunawa dengan tujuan memberikan hunian yang lebih layak dan meningkatkan kualitas hidup adalah langkah yang mulia. Namun, tanpa disertai dengan tata kelola yang baik dan program pemberdayaan ekonomi yang berkelanjutan, relokasi ini justru menjadi beban bagi warga dan pemerintah.

Masalah tunggakan yang terus membesar menunjukkan adanya ketidakseimbangan antara hak dan kewajiban. Di satu sisi, pemerintah berhak menuntut pembayaran sewa dari penghuni. Namun, di sisi lain, pemerintah juga memiliki kewajiban untuk memberikan solusi jangka panjang agar penghuni bisa mandiri secara ekonomi. Relokasi bukan sekadar memindahkan warga dari satu tempat ke tempat lain, melainkan juga harus disertai dengan upaya memberdayakan mereka agar kehidupan yang lebih baik bisa tercapai.

Jika tidak segera ditangani, masalah ini hanya akan semakin membesar dan menjadi beban berkelanjutan yang tak berkesudahan. Jangan ketinggalan anomali terbaru! Ikuti update berita terkini di anomali.id ! Dapatkan informasi terpercaya dan terbaru setiap hari.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

4232508926941629218

Latest News

12848135643216883582
5003596313931723273