Bahaya Asbes: Ancaman Tersembunyi di Atap Rumah Kita
Asbes, bahan bangunan murah meriah, ternyata menyimpan ancaman yang nggak main-main!
Saat melihat puing-puing bangunan yang berserakan, banyak orang tidak langsung curiga. Namun, di balik serpihan abu-abu itu tersembunyi bahaya mematikan. Bahan yang sering digunakan untuk atap rumah ini ternyata bisa menyebabkan penyakit serius. Asbes tersebar luas di berbagai pelosok Indonesia, termasuk di Cianjur, Jawa Barat. Banyak orang masih belum menyadari risikonya. Muhammad Darisman sudah lebih dari sepuluh tahun mengedukasi warga tentang bahaya material ini.
Menggunakan air sebelum mengambil potongan asbes menjadi langkah wajib agar serat halusnya tidak beterbangan. Serat kecil itu karsinogenik dan bisa menyebabkan kanker jika terhirup. Asbes menjadi berbahaya saat pecah dan seratnya lepas ke udara. Jika masih menempel di atap dalam kondisi utuh, risiko paparan lebih rendah. Namun, begitu atap rusak, partikel asbes bisa dengan mudah masuk ke saluran pernapasan manusia.
Dampak asbes baru terasa setelah bertahun-tahun terpapar. Dunia (bukan nama sebenarnya) mulai mengalami gejala serius pada 2011 dengan batuk-batuk yang makin parah. Pada 2012, kondisinya memburuk hingga berbulan-bulan tanpa kesembuhan. Setelah menjalani pemeriksaan laboratorium dan rontgen, dokter menyatakan ia terkena penyakit paru-paru, meski tidak langsung mengaitkannya dengan asbes.
Dunia kehilangan pekerjaannya di pabrik asbes setelah sakit, meskipun telah bekerja selama 20 tahun. Ia hanya menerima kompensasi Rp32 juta. Selama bekerja, ia dan rekan-rekannya diberi masker dan seragam kerja. Namun, seiring waktu, banyak pekerja menggunakan masker kain tipis yang tidak cukup melindungi. Banyak temannya mengalami hal yang sama, bahkan beberapa di antaranya meninggal akibat penyakit paru-paru.
Sebagian besar pekerja yang terkena asbestosis atau kanker paru-paru baru merasakan dampaknya setelah 15 tahun terpapar. Kasus mesotelioma, kanker akibat asbes, bahkan bisa muncul 30 tahun setelah paparan pertama. Kondisi ini menyulitkan diagnosis karena gejalanya mirip dengan penyakit lain seperti TBC. Banyak kasus yang masih memerlukan klarifikasi lebih lanjut.
Sebanyak 70% produksi asbes dunia digunakan di Asia, dengan China, India, dan Indonesia sebagai pengguna terbesar. Lebih dari 60 negara telah melarang penggunaan asbes, tetapi Indonesia masih membiarkannya beredar luas. Sekitar 90% asbes yang masuk ke negara ini diolah menjadi atap semen bergelombang, yang justru banyak digunakan oleh masyarakat berpenghasilan rendah. Minimnya akses informasi dan harga yang murah membuat masyarakat masih memilih bahan ini.
Laporan WHO tahun 2020 mencatat 231 kasus baru asbestosis di Indonesia tiap tahun. Meskipun angka ini terlihat kecil, dampaknya sangat nyata dalam jangka panjang. Sejak 2012, LSM Jaringan Indonesia Larang Asbes terus mendesak pemerintah untuk menghentikan impor asbes, tetapi belum ada kebijakan yang tegas. Banyak negara telah melarang asbes, tetapi faktor politik dan ekonomi masih menjadi hambatan utama di Indonesia. Mayoritas asbes di Indonesia berasal dari impor dan melibatkan berbagai kementerian, yang sering kali saling lempar tanggung jawab.
Selama aturan belum berubah, langkah pencegahan yang dapat dilakukan adalah mengubur potongan asbes di dalam tanah agar seratnya tidak menyebar ke udara. Sayangnya, hingga kini belum tersedia tempat pembuangan khusus untuk material berbahaya ini. Tanpa tindakan nyata, bahaya asbes akan terus mengintai masyarakat tanpa disadari.
Indonesia masih jauh dari aman. Jangan sampai kita terlambat sadar dan menjadi korban berikutnya!